Oleh: Abrista Devi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan
perbankan syariah merupakan sebuah alternatif bagi praktik perbankan
konvensional. Pesatnya pertumbuhan perbankan syariah sudah seharusnya diiringi
dengan perkembangan jenis produk dan variasi akad yang sesuai dengan prinsip
syariah. Perkembangan produk ini diharapkan mampu memenuhi kebutuhan transaksi
nasabah. Salah satu masalah penting yang dihadapi perbankan syariah adalah
masalah variasi produk pembiayaan yang masih didominasi oleh murabahah, musyarakah,
dan mudharabah. Padahal masih ada beragam akad lainnya yang bisa
diimplementasikan.
Seiring
dengan berjalannya waktu, perbankan syariah pun semakin berkembang. Data awal
tahun 2009 menunjukkan bahwa bank syariah telah memiliki lima BUS (Bank Umum
Syariah), yaitu BMI, BSM, BSMI, BRI Syariah (sejak November 2008 BRI Syariah di
spin-off menjadi BUS), dan Bank Bukopin Syariah, serta 24 UUS dan 134
BPRS. Terlihat pula dalam data statistik perbankan syariah pada bulan Februari
tahun 2009 tercatat total asset bank syariah sebesar Rp 52 triliun yang
meliputi pangsa pasar bank syariah 2,10%. Perjalanan bank syariah semakin
mendapat dukungan sejak disahkannya undang-undang perbankan syariah No.21 tahun
2008 tentang perbankan syariah pada 17 Juni 2008 lalu. Dari sini pula dapat
terlihat bagaimana prospek perbankan syariah di Indonesia sangat bagus sehingga
harus diiringi pula dengan kemajuan perkembangan produk perbankan agar mampu
bersaing dengan industri perbankan konvensional serta mampu memenuhi kebutuhan
transaksi nasabah dewasa ini.
Islam
sebagai agama universal dan komprehensif pun memahami betul bagaimana kebutuhan
manusia. Sejarah menceritakan banyak cara yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW
beserta para sahabat hingga tabi’in dalam berniaga. Islam juga memberikan
instrumen-instrumen bersifat teknis praktis berupa akad. Diantaranya akad-akad
itu adalah jual beli dalam bentuk ”salam”.
Sebagaimana
disebutkan dalam data BI dari tahun 2002 hingga akhir tahun 2009, komposisi
pembiayaan perbankan syariah berdarkan akad dapat terlihat pada grafik berikut:
Gambar 1.1 Komposisi
Pembiayaan Perbankan Syariah Berdasarkan Akad
Sumber diperoleh
dan diolah dari: Data Statistik Perbankan Syariah 2002-2009
Dari trend
data di atas dapat dilihat bahwa pembiayaan dengan akad salam di
perbankan syariah tidak ada sama sekali, kecuali pada bulan ke 3 tahun 2002
sebesar 0,02% (Rp 392 juta). Sementara itu BPRS juga menerapkan akad salam
dengan proporsi pembiayaan yang terus menurun. Menurut data BPRS pada tahun
2005, pembiayaan dengan akad salam sebesar Rp 90 juta dan angka ini
menurun drastis di awal tahun 2009 hingga sebesar Rp 38 juta. Meskipun
demikian, hal ini haruslah diapresiasikan karena lembaga keuangan mikro ini masih
mau menyalurkan pembiayaan dengan akad salam. Padahal akad salam
yang merupakan jual beli dengan pembayaran dimuka ini cukup applicable
jika diaplikasikan sebagai salah satu produk perbankan khususnya di sektor
pertanian.
Jika
ditelusuri lebih lanjut, salam sudah diterapkan pada zaman Rasulullah
SAW. Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan beberapa syarat yang
harus dipenuhi. Ketentuan syarat yang ditetapkan dalam akad salam
bukanlah untuk mempersulit penerapan akad salam. Akan tetapi, akad salam
merupakan bagian dari transaksi jual beli yang sangat mengedepankan
kepercayaan. Jumlah kuantitas dan jenis kualitasnya pun harus jelas tertera
dalam akad. Hal ini guna menghindari bentuk moral hazard yang rentan
sekali dihadapi dalam transaksi salam.
Transaksi salam
juga sangat populer pada zaman Imam Abu Hanifah (80-150 H/699-767M). Abu
Hanifah mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang cenderung mengarah kepada
perselisihan antara yang memesan barang dengan cara membayar lebih dulu, dengan
orang yang membelikan barang. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini
dengan merinci lebih jauh apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas
di dalam kontrak, seperti jenis komoditas, kualitas, kuantitas, waktu, dan
tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditas tersebut harus
tersedia di pasar selama waktu kontrak dan waktu pengiriman (P3EI, 2008).
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima
pembayaran di muka. Ascarya (2007) menyebutkan bahwa salam juga
bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga dengan akad salam
lebih murah daripada harga dengan akad tunai. Mahbubi (2007) menyatakan akad salam
dan istishna’ lebih mengandung kemudahan dalam bertransaksi baik
bagi penjual maupun pembeli apabila dibandingkan dengan jual beli murabahah.
Pensyariatan akad salam tidak lain untuk mencapai tujuan itu. Sebab
kadang seseorang memiliki modal pada suatu waktu tetapi ia butuh barang di
waktu yang akan datang. Disisi lain ada orang yang butuh modal pada saat itu,
tetapi ia hanya mampu menyerahkan barang pada masa yang akan datang. Dari unsur
perbedaan kebutuhan dengan adanya kemudahan tersebut itu pula yang membuat akad
salam sangat prospektif jika diterapkan di dunia perbankan syariah.
Permasalahan
lainnya mengenai akad salam adalah, sejauh ini akad salam hanya
dianggap cocok untuk industri pertanian. Besarnya risiko yang terkandung dalam
sektor pertanian ini juga mempengaruhi keengganan pihak perbankan dalam
penyaluran modal kerja ke sektor pertanian yang tidak hanya berdasarkan akad salam.
Padahal, berdasarkan definisi yang terkandung dari bay’ al salam itu
sendiri tidaklah sesempit bagaimana pihak perbankan mengaplikasikan akad salam
dalam penyaluran pembiayaannya. Berdasarkan glosary statistik perbankan
syariah (SPS, 2009) , akad salam adalah perjanjian pembiayaan berupa
transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu
dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. Artinya, jenis kontrak
seperti ini tidak hanya untuk bertransaksi di sektor pertanian saja. Sektor
lainnya pun yang merupakan transaksi jual beli dapat menggunakan akad salam
sebagai alternatif.
Misalnya,
untuk industri-industri kecil atau lebih dikenal dengan UMKM. Model pembiayaan salam
bisa disentuh oleh perbankan dengan cara memberikan modal kepada UMKM sehingga
industri kecil ini mampu melakukan ekspansi usaha. Modal juga bisa
diberikan oleh bank dalam bentuk alat, mesin, dan semua kebutuhan produksi.
Dalam hal ini pihak perbankan bertindak sebagai muslim (pemesan). Cara
lain, pihak bank bertindak sebagai marketing yang memasarkan produk-produk
UMKM. Jika ini bisa ditempuh dengan baik, angka pengangguran dapat ditekan dan
pengusaha-pengusaha kecil yang selama ini kerap mengalami permasalahan klasik,
yaitu kekurangan modal dapat diberdayakan. (Mahbubi, 2007)
Jika memang
akad salam dianggap tepat untuk
pembiayaan di sektor pertanian, maka hal ini seharusnya peluang dalam
rangka memperluas pangsa pasar yang harus dimanfaatkan oleh industri perbankan
syariah. Negara Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya
bermata-pencaharian sebagai petani. Dalam pengembangan sektor pertanian di
Indonesia, beberapa literatur mengungkapkan bahwa salah satu yang menjadi
penghambat perkembangan dan pertumbuhan sektor pertanian adalah masalah
permodalan. Salam pun bisa menjadi alternatif dari solusi untuk
mengatasi masalah ini.
Berdasarkan
data statistik perbankan syariah dari tahun 2007 hingga bulan Juli tahun 2009,
komposisi pembiayaan untuk sektor pertanian tidak pernah lebih dari 5%. Proporsi
pembiayaan bank syariah ke sektor pertanian pun mengalami perubahan yang tidak
terlalu signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat pembiayaan bank syariah untuk
sektor pertanian di tahun 2007 sebesar 3,49% dari keseluruhan total pembiayaan
bank syariah, lalu menurun hingga 3.04% di pertengahan tahun 2009. Pembiayaan
ke sektor pertanian pun masih belum sebesar pembiayaan ke sektor jasa,
perdagangan dan konstruksi. Pembiayaan bank syariah yang lebih mendominasi
adalah ke sektor pelayanan bisnis (business services).
Gambar 1.2 Komposisi Pembiayaan Perbankan Syariah
Berdasarkan Sektor Usaha
Sumber diperoleh
dan diolah dari: Data Statistik Perbankan Syariah 2007-2009
Banyak
faktor yang dapat menyebabkan tidak diterapkannya akad salam di dunia
perbankan syariah, diantaranya kurangnya pemahaman para praktisi perbankan
tentang aplikasi akad salam, kurangnya pengetahuan serta pengenalan
masyarakat akan seluk beluk bank syariah, serta besarnya risiko yang terkandung
dalam akad salam itu sendiri.
Adanya
ketimpangan inilah, dimana akad salam sesuai menurut konsep tapi tidak
diaplikasikan di sektor pertanian yang membuat penulis tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tidak diterapkannya akad salam
diperbankan syariah sehingga nantinya dapat dicari solusi dan strategi
kebijakan terbaik bagi industri perbankan syariah dalam pengembangan produknya,
terutama berakadkan salam. Setelah faktor-faktor tersebut
diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah bagaimana mencari solusi serta
strategi untuk menjadikan akad salam sebagai salah satu produk
pembiayaan yang applicable, bankable, serta marketable untuk
diterapkan di industri perbankan syariah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1.
Faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi peningkatan dana pihak ketiga (DPK) melalui layanan
office channeling bank BS?
2.
Faktor-faktor apa
saja yang menjadi penyebab utama (yang paling berpengaruh) sehingga pembiayaan
dengan akad salam menjadi sulit untuk diaplikasikan di industri
perbankan syariah bahkan angka komposisi pembiayaan dengan akad salam di
bank syariah mencapai 0,00%.
3.
Solusi apa yang
dapat diberikan guna mendongkrak penerapan akad salam sebagai salah satu
instrumen pembiayaan di perbankan syariah.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Aplikasi Pembiayaan
Bay’ Al-Salam di Perbankan Syariah Indonesia
Dalam dunia perbankan syariah, salam merupakan
suatu akad jual beli layaknya murabahah. Perbedaan mendasar hanya
terletak pada pembayaran serta penyerahan objek yang diperjualbelikan.. Dalam
akad salam, pembeli wajib menyerahkan uang muka atas objek yang
dibelinya, lalu barang diserahterimakan dalam kurun waktu tertentu. Salam
dapat diaplikasikan sebagai bagian dari pembiayaan yang dapat diberikan oleh
bank kepada nasabah debitur yang membutuhkan modal guna menjalankan usahanya,
sedangkan bank dapat memperoleh hasil dari usaha nasabah lalu menjualnya kepada
yang berkepentingan. Ini lebih dikenal dengan salam pararel.
Aplikasi akad salam dalam bank, bank bertindak
sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Ketika barang telah
diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau
kepada nasabah itu sendiri secara tunai maupun cicilan. Harga beli bank adalah
harga pokok ditambah keuntungan (Muhammad, 2005)
Pembiayaan ini pada umumnya dilakukan dalam pembiayaan
barang yang belum ada, seperti pembelian komoditas pertanian. Sekilas
pembiayaan ini mirip dengan ijon, namun dalam transaksi ini baik kualitas,
kuantitas, harga, waktu penyerahan barang harus ditentukan secara jelas dan
pasti.
Bay’ al salam (biasanya
dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif
pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti
padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang-barang
tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akad bay’ al
salam kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir.
Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam pararel (Antonio,
1999).
Berdasarkan kompilasi SOP yang disampaikan oleh bank
syariah, tahapan pelaksanaan salam dan salam pararel adalah
sebagai berikut (Buchari, et al, 2005 dalam Ascarya, 2006):
Tabel 2.2 Ringkasan Tahapan Akad Salam dan Salam Pararel
Menurut SOP Salah Satu Bank Syariah
No
|
Tahapan
|
1
|
Adanya permintaan barang tertentu dengan spesifikasi yang jelas, oleh
nasabah pembeli kepada bank syariah sebagai penjual
|
2
|
Wa’ad nasabah untuk membeli barang dengan harga dan waktu
tangguh pengiriman barang yang disepakati
|
3
|
Mencari produsen yang sanggup untuk menyediakan barang yang dimaksud
(sesuai batas waktu yang disepakati dengan harga yang lebih rendah)
|
4
|
Pengikatan I antara bank sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli
untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu yang akan diserahkan pada
waktu yang telah ditentukan
|
5
|
Pembayaran oleh nasabah pembeli dilakukan sebagian di awal akad dan sisanya
sebelum barang diterima (atau sisanya disepakati untuk diangsur)
|
6
|
Pengikatan II antara bank sebagai pembeli dan nasabah produsen sebagai
penjual untuk membeli barang dengan spesifikasi tertentu yang akan diserahkan
pada waktu yang telah ditentukan
|
7
|
Pembayaran dilakukan segera oleh bank sebagai pembeli kepada nasabah
produsen pada saat pengikatan dilakukan
|
8
|
Pengiriman barang dilakukan langsung oleh nasabah produsen kepada nasabah
pembeli pada waktu yang ditentukan
|
Sejauh ini, skim pembiayaan salam masih belum
banyak disentuh khususnya oleh perbankan syariah. Produk yang ditawarkan masih
berkisar pada musyarakah, mudharabah, murabahah, dan ijarah. Prosentasi
dari pembiayaan istisna’ pun masih sedikit dibandingkan jenis pembiayaan
di perbankan syariah lainnya. Pembiayaan salam pun jelas tidak
pernah lagi digunakan mulai tahun 2003 hingga sekarang sebagaimana
dipublikasikan dalam statistik perbankan syariah.
Kembali dapat terlihat data per Februari 2009 yang
dipublikasikan oleh BI, bahwa pembiayaan yang masih mendominasi di industri
perbankan syariah adalah Murabahah sebesar 58,12% dari total keseluruhan
pembiayaan di bank syariah. Selanjutnya diikuti oleh pembiayan mudharabah
sebesar 20,25%, musharakah 15,31%, Qardh 2,89%, Ijarah
2,43%, istishna’ 0,99% dan terakhir adalah salam 0,00%.
Data di atas jelas sekali menggambarkan bahwa pembiayaan
dengan akad salam belum tersentuh sama sekali oleh perbankan syariah
mulai tahun 2003 hingga sekarang. Perlu diamati bahwa salah satu strategi
pengembangan perbankan syariah adalah dengan melakukan inovasi produk, baik
pembiayaan maupun pendanaan sehingga produk perbankan syariah tidak terkesan
monoton dan menarik. Dari sini kemudian perlu langkah-langkah solutif guna
menjawab permasalahan itu. Pihak perbankan syariah pun mesti bertindak tanggap
menghadapi kebutuhan masyarakat, sebab jika tidak maka bank syariah hanya akan
terasing dibawah nama besar syariahnya.
2.2 Penelitian Terdahulu
Umar (1995) dalam paper penelitian yang berjudul Shari’ah,
Economic and Accounting Framework of Bay’ Al Salam in The Light of Contemporary
Application menyebutkan salam merupakan suatu teknik transaksi
yang sesuai dengan syariat Islam dimana dapat memenuhi banyak kebutuhan baik
dalam lingkup keuangan, investasi, produksi, dan pemasaran. Sama halnya dengan
teknik keuangan syariah lainya, suatu cakupan yang sangat luas untuk kegiatan
operasional perbankan syariah. Ahli fiqh klasik pun telah memberikan
banyak pertimbangan atas akad salam, demikian halnya dengan ahli fiqh
kontemporer sangat menekankan pada akad salam adanya hubungan yang fair
(adil) dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam beberapa bagian
penelitian ini juga Umar mencoba bergantung pada sebagian besar literatur
klasik pada subjek. Dalam penelitian ini
beliau berpedoman pada empat mazhab, dan terkadang merujuk pada mazhab Dzahiri.
Hakim (1999) dalam tulisan paper di tim Penelitian
dan Pengembangan Bank Syariah-DPNP tentang Problem Pengembangan Produk
dalam Bank Syariah menyimpulkan bahwa, kendala bank syariah dalam penerapan
produk bank syariah yang sesuai dengan prinsip syariah khususnya akad salam
adalah risiko harga barang yang diperjualbelikan dalam akad salam
mengalami fluktuatif. Hal ini jika akad salam diterapkan dalam
sektor pertanian dimana ketika yang menjadi objek jual beli adalah gabah
misalnya, dalam hukum syariah setelah dibayar petani berhutang gabah yang akan
diantar kemudian. Dan dalam hukum positif petani berhutang uang dan harus
mengembalikan uang. Sehingga dari transaksi jual beli gabah ini terdapat risiko
dimana harga gabah yang fluktuatif tersebut akan merugikan bank.
Ebrahim (2001), dalam jurnal internasional yang berjudul Islamic
Banking in Brunei Darussalam menyatakan bahwa akad salam di
Brunei Darussalam digunakan dalam produk derivatif. Adanya kesamaan
akad salam/istishna’ dengan kontrak future (future contract)
dimana pembeli dan penjual setuju dengan harga, kualitas, kuantitas, dan
tanggal penyerahan. Jika salam digunakan untuk barang komoditas,
sedangkan istishna’ untuk barang manufaktur. Ebrahim juga menyatakan
dalam jurnalnya yang dikutip dari Iqbal (1999) bahwa pembangunan intermediasi
keuangan Brunei Darussalam di bawah hukum Islam dapat dicapai dengan
beragam cara yang salah satunya adalah mendesign, membangun, dan
mengimplementasikan Islamic Hedging dan instrumen minimalisir risiko
lainnya seperti Islamic Futures (dengan akad salam/istishna’), Islamic
Swaps, etc. Hal ini dapat meningkatkan profitabilitas bank Islam selama
mereka mampu menurunkan tingkat exposure risiko secara simultan.
Ashari dan Saptana (2005) dalam penelitiannya yang
berjudul Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian
menulis tentang permasalahan utama dalam pengembangan sektor pertanian yang
diakibatkan oleh lemahnya permodalan. Pemerintah telah berusaha mengatasi
permasalahan tersebut dengan meluncurkan beberapa program untuk sektor
pertanian. Kredit program yang berdasarkan sistem bunga menimbulkan masalah
baru seperti membengkaknya hutang petani serta kredit macet. Ashari dan Saptana
menawarkan kajian solusi pembiayaan alternatif yang sesuai dengan prinsip
syariah, salah satunya dengan akad salam. Hasil kajian ini menunjukkan
bahwa pembiayaan syariah cukup prospektif untuk memperkuat permodalan di sektor
pertanian. Untuk mendukung implementasinya di sektor pertanian diperlukan
keberpihakan para pembuat kebijakan serta sosialisasi yang intensif mengenai
prinsip-prinsip pembiayaan syariah.
Penelitian terkait lainnya yang berjudul Potensi
Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian Padi dan Palawija di Jawa Barat,
sebuah penelitian yang dikemas atas hasil kerja sama kantor Bank Indonesia
Bandung dengan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2007), membahas tentang beberapa produk
pembiayaan syariah yang bisa diterapkan untuk sektor pertanian, dan yang sangat
potensial serta cocok adalah pembiayaan dengan akad salam. Dalam
penelitian tersebut menyebutkan bahwa secara khusus, produk pembiayaan dengan
akad salam dipandang memiliki potensi untuk lebih dikembangkan karena
cukup kompatibel dengan sektor pertanian.
Minimnya pembiayaan bank syariah terhadap sektor
pertanian tak lain disebabkan oleh pengaruh risiko yang terkandung dalam bisnis
pertanian. Penelitian ini menjelaskan bahwa untuk mengurangi risiko usaha atau
meningkatkan peluang keberhasilan dalam implementasi pembiayaan syariah di
sektor pertanian ini, salah satu faktor kunci adalah perlunya dibuat model
kemitraan usaha yang terintegrasi antara pelaku usaha pertanian dan pihak
perbankan syariah. Bentuk kerjasama kemitraan bisa diwujudkan dalam pola
hubungan inti plasma, subkontrak, dagang umum, atau kerjasama operasional
agribisnis.
2.3 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
![]() |
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Sumber dan Jenis Data
Wawancara dan studi literatur merupakan sumber data untuk
penyusunan kerangka model ANP dari analisa faktor-faktor yang mempengaruhi
tidak diterapkannya konsep akad salam di perbankan syariah. Kerangka ANP
yang telah disusun baru dapat diselesaikan setelah tersedia data maupun
informasi preferensi/tanggapan/pendapat yang diwakili oleh para
analis/pakar/praktisi ekonomi Islam tentang permasalahan yang akan diteliti.
Untuk memperoleh data preferensi tersebut, digunakan (1 kuesioner/wawancara
langsung) kepada para pakar dan praktisi. Pengumpulan data ini dititikberatkan
bagi kalangan perbankan syariah maupun pakar untuk mendapatkan data-data yang
diperlukan untuk analisa kuantitatif dalam kerangka analisis yang akan
digunakan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer.
3.2 Teknik
Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian menggunakan metode ANP, ada dua
tahap pengumpulan data. Pada tahap awal ini, teknik yang dilakukan untuk
pengumpulan data dan informasi adalah dengan melakukan indept interview/wawancara
dengan beberapa responden yang telah dipilih. Responden merupakan para
ahli/pakar/praktisi yang paham tentang aplikasi akad salam. Wawancara
awal ini untuk memperoleh informasi yang mendalam mengenai masalah dan sebagai
sumber data awal dalam menyusun model kerangka ANP. Tahap selanjutnya setelah
kerangka ANP tersusun, langkah berikutnya adalah merancang kuesioner sesuai
dengan kerangka ANP yang telah dibuat. Kuesioner tersebut nantinya disebarkan
kepada para ahli yang benar-benar menguasai masalah tersebut. Penyebaran kuesioner
ini diperlukan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan skala ratio. Dalam
pengumpulan data ini dilakukan secara terpisah untuk masing-masing responden.
. 3.3 Teknik
Analisis Data
Setelah data yang dikumpulkan telah di susun dalam bentuk
model kerangka ANP serta hasil data kuesioner pun telah terkumpulkan,
maka langkah selanjutnya adalah analisis-analisis terhadap hasil-hasil yang
telah diperoleh. Alat analisis ini adalah ANP dan diolah dengan menggunakan
perangkat lunak ”Super Decision” yang dapat diperoleh secara gratis dari
http://www.superdecision.com.
3.4
Metodologi
Penelitian
ini merupakan penelitian analisis kualitatif-kuantitatif dimana penelitian ini
berusaha untuk menangkap suatu nilai atau pandangan yang diwakili para pakar
dan praktisi syariah tentang penerapan konsep akad bay’ al salam di
perbankan syariah. Studi kualitatif tersebut memiliki pengertian sebagai suatu
proses atau usaha untuk memahami masalah-masalah sosial berdasarkan gambaran
keseluruhan yang kompleks, melalui kata-kata yang dilaporkan dari pandangan
informan dan dilakukan dalam situasi yang natural. Oleh sebab itu, metodologi
yang tepat untuk penelitian ini adalah dengan ANP.
Analytic Network Process atau ANP adalah
teori matematis yang pertama yang membuat metode ini memungkinkan kita
menghadapi faktor-faktor dependence serta feedbacknya secara
sistematik. Dalam bahasa lain, ANP merupakan satu dari metode multiple
criteria decision making (MCDM) yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty.
Metode ini merupakan pendekatan baru metode kualitatif yang merupakan
perkembangan lanjutan dari metode terdahulu yakni Analytic Hierarchy Process
(AHP). Kelebihan ANP dari metodologi yang lain adalah kemampuannya untuk
membantu kita dalam melakukan pengukuran dan sintesis sejumlah faktor-faktor
dalam hierarki atau jaringan. Banyak kelebihan dari metode baru yang
diperkenalkan oleh Saaty ini yang diantaranya adalah kesederhanaan konsep yang
ditawarkan. Dari kesederhanaan metodologinya membuat ANP menjadi metodologi
yang lebih umum dan lebih mudah diaplikasikan untuk studi kualitatif yang
beragam, seperti pengambilan keputusan, forecating, evaluasi, mapping,
strategizing, alokasi sumber daya dan lain sebagainya. (Saaty, 2005)
Jika dikaji lebih lanjut, tidak ada metodologi lain yang
mempunyai fasilitas sintesis seperti metodologi ANP. Dan jika dibandingkan
dengan metodologi AHP, ANP memiliki banyak kelebihan, seperti komparasi yang
lebih obyektif, prediksi yang lebih akurat, dan hasil yang lebih stabil dan robust.
ANP lebih bersifat general dari AHP yang digunakan di multi-criteria
decision analysis. Struktur AHP merupakan suatu decision problem
dalam bentuk tingkatan suatu hirarki, sementara ANP menggunakan pendekatan
jaringan tanpa harus menetapkan level seperti pada hierarki yang digunakan
dalam AHP. (Saaty, 2005)
ANP digunakan untuk memecahkan masalah yang bergantung
pada alternatif-alternatif dan kriteria-kriteria yang ada. Dalam teknik
analisisnya, ANP menggunakan perbandingan berpasangan pada
alternatif-alternatif dan kriteria proyek.
Pada jaringan AHP terdapat level tujuan, kriteria,
subkriteria, dan alternatif, dimana masing-masing level memiliki elemen.
Sementara itu, pada jaringan ANP, level dalam AHP disebut cluster yang dapat
memiliki kriteria dan alternatif didalamnya, yang sekarang disebut simpul:
Dengan feedback, alternatif-alternatif dapat
bergantung/terikat pada kriteria seperti pada hierarki tetapi dapat juga
bergantung/terikat pada sesama alternatif. Lebih jauh lagi, kriteria-kriteria
itu sendiri dapat tergantung pada alternatif-alternatif dan pada sesama
kriteria. Sementara itu, feedback meningkatkan prioritas yang diturunkan
dari judgments dan membuat prediksi menjadi lebih akurat. Oleh karena
itu, hasil dari ANP diperkirakan akan lebih stabil dari jaringan feedback. Pada
gambar 3.1 di atas dapat dilihat bahwa simpul atau elemen utama dan
simpul-simpul yang akan dibandingkan dapat berada pada cluster-cluster
yang berbeda. Sebagai contoh, ada hubungan langsung dari simpul utama C4 ke
cluster lain (C2 dan C3), yang merupakan outer dependence. Sementara
itu, ada simpul utama dan simpul-simpul yang akan dibandingkan berada pada cluster
yang sama, sehingga cluster ini terhubung dengan dirinya sendiri dan membentuk
hubungan loop. Hal ini disebut inner dependence (Ascarya, 2005).
BAB
IV
Analisis hasil pembahasan
4.1 Tahapan
Penelitian
Dalam
rangka menyelesaikan penelitian ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh,
dan diantaranya adalah (Ascarya, 2009):
1) Melakukan
wawancara yang mendalam tentang permasalahan yang dikaji kepada pakar dan
praktisi yang memahami dan menguasai masalah secara komprehensif;
2) Dekomposisi
untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan menstruktur kompleksitas masalah ke
dalam jaringan ANP;
3) Menyusun/membuat
kuesioner perbandingan (pair-wise comparison) berdasarkan pada jaringan
ANP yang telah dibuat;
4) Melakukan
wawancara kedua berupa pengisian kuesioner kepada pakar dan praktisi;
5) Melakukan
sintesis dan proses data (hasil survey dalam bentuk pengisian kuesioner) dengan
menggunakan software ANP yaitu superdecisions; dan
6) Menganalisa
hasil dan mengajukan rekomendasi strategi.
Dalam
tahap pertama, data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pertemuan
langsung kepada 11 pakar perbankan syariah dan 5 praktisi perbankan
syariah. Selanjutnya, responden yang dianggap lebih menguasai masalah (5 dari
pakar dan 5 dari praktisi) dijadikan sebagai responden untuk pengisisan
kuesioner perbandingan.
Untuk
memberikan kemudahan bagi penulis dalam memperoleh data kuesioner dengan jumlah
ribuan pertanyaan, serta guna menjaga tingkat konsistensi, penulis mengikuti
model kuesioner perbandingan yang telah dimodifikasi oleh Ascarya (2009) dalam
bentuk tabel untuk digunakan sebagai alat wawancara kedua. Sebagaimana dapat
dilihat dalam gambar 4.1 dibawah ini. sementara itu, untuk menjawab pertanyaan
responden dilengkapi dengan deskripsi skala/rating yang akan digunakan dan
jaringan ANP dari masalah yang diangkat.
Gambar 4.1
Contoh Kuesioner Perbandingan yang Telah Dimodifikasi
Sumber diolah dari: Ascarya
(2009)
Dengan
dibuatnya kuesioner perbandingan yang lebih sederhana ini secara signifikan
dapat membantu penulis dalam mengurangi waktu wawancara ke responden dan akan
selalu menghasilkan hasil yang konsisten.
4.2 Hasil dan Analisis
Hasil survey
yang diperoleh diolah terlebih dahulu berdasarkan hasil kuesioner untuk setiap
masing-masing responden dengan menggunakan kerangka ANP sebagaimana telah
disajikan pada gambar 4.4 dan 4.5 sebagai dasar pembuatan kuesioner. Data yang
diolah dari masing-masing responden tersebut menghasilkan tiga supermatriks
yang memberikan urutan prioritas aspek-aspek terpenting dan masalahnya, solusi
pemecahan masalah, serta pilihan strategi yang tepat menurut pendapat
masing-masing responden.
Selanjutnya
hasil pengolahan tersebut dikelompokkan menjadi kelompok pakar dan praktisi
perbankan syariah untuk menghasilkan urutan prioritas berdasarkan kelompok.
Untuk memperoleh hasil tersebut, dari lima responden dalam satu kelompok
dihitung nilai rata-rata dan modusnya. Nilai rata-rata dan/atau modus[1]
inilah yang digunakan untuk menentukan urutan prioritas. Disamping menentukan
hasil prioritas untuk setiap kelompok, dihitung juga urutan prioritas secara
keseluruhan.
Dalam
membantu menganalisa lebih dalam, hasil keseluruhan ANP untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam
lampiran 1. Dan untuk lebih jelasnya, berikut diuraikan bagaimana pendapat
setiap pihak serta perbandingannya, baik itu pendapat pakar maupun praktisi
tentang masalah prioritas tidak diterapkannya akad salam diperbankan
syariah.
a.
Analisis
Aspek
Berdasarkan
hasil pengolahan data, berdasarkan nilai rata-rata gabungan sebagaimana dapat
dilihat pada gambar 4.6, maka masalah tidak diterapkannya akad salam
diperbankan syariah dapat dibagi menjadi dua masalah utama, yakni masalah
internal (0,51) dan masalah eksternal (0,49). Yang menjadi masalah utama
menurut pendapat pakar berdasarkan nilai rata-rata hampir sama, dimana aspek
internal (0,50) dan aspek eksternal (0,50). Pakar perbankan syariah menganggap
bahwa masalah tidak diterapkannya akad salam berasal dari dua aspek yang
ada, baik itu aspek internal, maupun aspek eksternal. Tidak jauh berbeda dengan
pendapat pakar, berdasarkan nilai rata-rata praktisi sedikit lebih besar
menetapkan masalah yang lebih diprioritaskan terdapat pada masalah internal
(0,52) dan untuk masalah eksternal (0,48). Perbedaan nilai rata-rata terhadap
dua aspek (internal dan eksternal) tidak mengalami perbedaan yang signifikan.
Artinya, masalah utama bisa terdapat dalam kedua aspek tersebut.
Gambar 4.6 Hasil ANP dan Rater agreement berdasarkan
Cluster Aspek
Ket: NR = Nilai Rata-Rata
NRT = Nilai Rata-Rata Total
untuk keseluruhan responden
W = Kendall’s Coeficient of
Concordance
Hal ini
mengindikasikan bahwa pada hakikatnya fakor-faktor masalah tidak diterapkannya
akad salam tidak hanya berasal dari internal perbankan saja. Akan
tetapi, belum ada dukungan, dan komitmen pula dari pihak eksternal perbankan,
seperti dari otoritas dan sebagainya serta masalah eksternal lainnya. Oleh
sebab itu perlu adanya hubungan timbal balik antara kedua aspek (internal dan
eksternal) yang positif dan saling mendukung guna mewujudkan pembiayaan akad salam
di perbankan syariah.
Hasil rater
agreement dengan nilai W=0,04 menurut kalangan pakar mengindikasikan bahwa
sangat rendahnya tingkat kecenderungan kesepakatan antar rater dalam
menilai masalah pada aspek. Hal ini sejalan dengan hasil W secara rata-rata
yakni 0,04. Sedangkan hasil W untuk kalangan pakar yakni 0,36 yang menunjukkan
nilai kesepakatan antar rater (responden) pun cukup rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesepakatan yang baik antara responden dalam
memberikan urutan peringkat guna mencari masalah utama berdasarkan aspek.
Masing-masing responden memiliki pendapat yang berbeda, sehingga berdasarkan
hasil nilai rata-rata bahwa pada aspek internal dan eksternal hampir memiliki
tingkat kepentingan yang sama. Dilihat berdasarkan perhitungan nilai W
gabungan, maka terlihat bahwa dari sepuluh responden 6 responden menjawab
masalah yang paling penting ada pada aspek internal dan 4 responden lainnya menjawab masalah terpenting ada pada
aspek ekternal, sehingga terlihat bahwa tiap-tiap responden tidak memiliki
kecenderungan kesepakatan dalam menjawab masalah ini dan tidak ada perbedaan
rating yang jauh antara kedua aspek, bahkan hampir mendekati 50%-50%.
b.
Analisis
Strategi
Berdasarkan
gambar 4.24 dapat dilihat bahwa, menurut kalangan pakar perbankan syariah
strategi yang lebih diprioritaskan adalah mendirikan bank pertanian (0,22).
Karena, dengan mendirikan bank pertanian maka akad salam dapat diterapkan
guna menjadi salah satu model pembiayaan untuk pertanian. Menurut kalangan
pakar, mereka berpendapat bahwa dalam mendirikan bank pertanian perlu ada masa
transisi. Artinya, bank pertanian tidak langsung berdiri sebagai wujud bank
yang dalam aspek hukumnya pun harus tunduk dan memenuhi syarat-syarat hukum
perbankan. Akan tetapi, bank pertanian dapat dibentuk melalui lembaga-lembaga
BUMD. Strategi ini pula yang menjadi prioritas berdasarkan pada data gabungan
antara pakar dan praktisi.
Sedangkan
menurut kalangan praktisi strategi yang menjadi prioritas adalah melalui
program sosialisasi, edukasi dan komunikasi (0,24) baik ke nasabah pada umumnya
maupun nasabah petani pada khususnya. Program ini tidak hanya dilakukan oleh
perbankan akan tetapi juga dapat dilakukan oleh kalangan Eksternal seperti
akademisi, dan sebagainya.
Nilai
kesepakatan antar rater dari kalangan pakar menunjukkan nilai W=0,12. Sedangkan
untuk tingkat kesepakatan antar rater praktisi menunjukkan nilai W=0,26 dan
W=0,11 untuk nilai W rata-rata yang menunjukkan konsistensi penilaian antar
rater cukup rendah. Tingkat ketidaksesuaian penilaian yang rendah juga sangat
berkaitan dengan latar belakang para responden.
Gambar 4.24 Hasil ANP dan Rater agreement
berdasarkan Cluster Strategi
Ket: NR = Nilai Rata-Rata
NRT = Nilai Rata-Rata Total
untuk keseluruhan responden
W = Kendall’s
Coeficient of Concordance
Berdasarkan
data yang telah diolah maka ringkasan hasil menurut pendapat pakar dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.1 Ringkasan Hasil
Analisa Faktor Menurut Pendapat Pakar
Aspect
|
Keterangan
|
|
1
|
2
|
|
Masalah Internal
|
Internal Perbankan: Orientasi
bisnis; Kurang dana jangka panjang
|
SDM perbankan:
Menghindari risiko; Orientasi pada target
|
Solusi Internal
|
Internal Perbankan:
Komitmen; Bentuk unit pembiayaan salam
|
SDM perbankan:
Pelatihan dan workshop; seleksi SDM
|
Masalah Eksternal
|
Otoritas:
Kurang kebijakan; Kurang keberpihakan pemerintah
|
Nasabah:
Petani kecil tidak bankable
|
Solusi Eksternal
|
Otoritas:
Dukungan dan komitmen; Buat kebijakan pendukung
|
Nasabah:
Sosialisasi dan komunikasi
|
Strategi
|
Mendirikan bank pertanian
|
Pemetaan segmen pertanian
|
Berdasarkan
data yang telah diolah maka ringkasan hasil menurut pendapat praktisi dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 4.2: Ringkasan Hasil
Analisa Faktor Menurut Pendapat Praktisi
Aspect
|
Keterangan
|
|
1
|
2
|
|
Masalah Internal
|
Internal Perbankan: Orientasi
bisnis; Jaringan terbatas
|
SDM perbankan:
Orientasi pada target; Kurangnya pemahaman
|
Solusi Internal
|
Internal Perbankan:
Komitmen; Membangun mitra
|
SDM perbankan:
Pelatihan dan workshop; seleksi SDM
|
Masalah Eksternal
|
Otoritas:
Kurang kebijakan; Kurang keberpihakan pemerintah
|
Nasabah:
Kurang informasi
|
Solusi Eksternal
|
Otoritas:
Buat kebijakan pendukung; Dukungan dan komitmen
|
Nasabah:
Sosialisasi dan komunikasi
|
Strategi
|
Program Sosialisasi, edukasi, dan komunikasi
|
Pembenahan fasilitas dan infrastruktur pertanian
|
Tabel 4.3
Ringkasan Hasil Analisa Faktor berdasarkan Pendapat Keseluruhan Responden
(gabungan)
Aspect
|
Keterangan
|
|
1
|
2
|
|
Masalah Internal
|
Internal Perbankan: Orientasi
bisnis; Jaringan terbatas
|
SDM perbankan:
Orientasi pada target; Menghindari risiko
|
Solusi Internal
|
Internal Perbankan:
Komitmen; Bentuk unit pembiayaan akad salam
|
SDM perbankan:
Pelatihan dan workshop; seleksi SDM
|
Masalah Eksternal
|
Otoritas:
Kurang kebijakan; Kurang keberpihakan pemerintah
|
Nasabah:
Petani kecil tidak bankable
|
Solusi Eksternal
|
Otoritas:
Dukungan dan komitmen ; Buat kebijakan pendukung
|
Nasabah:
Sosialisasi dan komunikasi
|
Strategi
|
Program sosialisasi, edukasi, dan komunikasi
|
Mendirikan bank pertanian
|
BAB V
penutup
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan
analisa faktor-faktor tidak diterapkannya akad salam diperbankan
syariah, berikut dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai pembahasan ini,
diantaranya adalah:
1.
Sudah saatnya
perbankan syariah mulai mengembangkan kembali produk-produk/ akad perbankan
syariah guna memenuhi kebutuhan nasabah dewasa ini.
2.
Data menunjukkan pada
tahun 2002 hingga tahun 2009 pembiayaan dengan akad salam di perbankan
syariah tidak ada sama sekali, kecuali pada bulan 3 tahun 2002 sebesar 0,02%.
3.
Berdasarkan hasil penelitian menurut
pendapat kalangan pakar dan praktisi, menunjukkan bahwa, permasalahan tidak
diterapkannya akad salam di perbankan syariah dibagi menjadi dua aspek
utama, internal dan eksternal. Menurut pendapat para pakar, permasalahan dari
kedua aspek ini sama pentingnya, dimana hasil prioritas menunjukkan angka
50%-50%. Akan tetapi permasalahan yang paling utama berdasarkan data gabungan
dan pendapat praktisi adalah berasal dari aspek internal. Meskipun aspek
internal lebih diprioritaskan, jarak selisih antara kedua aspek ini tidak terlalu
jauh. Jika angka decimal dibulatkan maka hasil bisa mencapai 50%-50%.
4.
Aspek internal terbagi lagi menjadi dua
masalah utama yakni internal perbankan (orientasi bisnis; jaringan terbatas)
dan SDM perbankan (orientasi pada targer; menghindari risiko). Aspek eksternal
juga terbagi menjadi dua masalah utama yaitu otoritas (kurang kebijakan
pendukung; kurang keberpihakan pemerintah), dan nasabah (petani kecil tidak bankable).
5.
Sejalan dengan masalah, maka solusi yang
lebih diprioritaskan berdasarkan aspek internal meliputi, solusi internal
perbankan (komitmen; bentuk unit pembiayaan salam) dan solusi SDM
perbankan (pelatihan dan workshop; seleksi SDM). Disamping itu, solusi
berkenaan dengan aspek eksternal meliputi, solusi otoritas (dukungan dan
komitmen; membuat kebijakan pendukung) dan solusi nasabah (sosialisasi dan
komunikasi).
6.
Strategi yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan pembiayaan dengan akad salam sesuai dengan urutan prioritas
gabungan adalah melalui program sosialisasi, edukasi, dan komunikasi serta
mendirikan bank pertanian.
5.1 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan
maka ada beberapa saran yang dapat penulis rekomendasikan, diantaranya adalah:
1.
Perbankan syariah
seyogyanya mengeksplorasi penyaluran pembiayaannya dengan akad salam ke
sektor usaha lainnya seperti sektor pertenakan, perikanan, dan sebagainya.
2.
Bagi bankir
perbankan syariah hendaknya memiliki komitmen untuk mewujudkan pembiayaan
dengan akad salam. Komitmen ini dapat diwujudkan melalui pembentukan
unit khusus pembiayaan salam dengan sumber daya manusia yang paham akan
akad salam dan sektor usaha yang dibiayai.
3.
Bagi pemerintah
hendaknya turut memiliki andil dan mendukung dalam mewujudkan pembiayaan akad salam
melalui kebijakan-kebijakannya.
4. Baik dari pemerintah, bankir, maupun akademisi hendaknya
melakukan strategi program sosialisasi, edukasi dan komunikasi ke nasabah
(khususnya nasabah yang akan dibiayai dengan akad salam). Karena program
ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu dari pihak eksternal dan
internal. Sehingga, melalui program ini, akan turut mendukung wujudnya kembali
pembiayaan dengan akad salam di perbankan syariah.
5. Dalam penelitian selanjutnya diharapkan dapat membagi
strategi berdasarkan periodenya, seperti strategi untuk jangka panjang, jangka
menengah dan jangka pendek. Misalnya untuk mendirikan bank pertanian merupakan
strategi otoritas untuk jangka panjang, sedangkan strategi penguatan permodalan
dibutuhkan untuk jangka pendek.
6. Penelitian selanjutnya juga diharapkan untuk melakukan
pembahasan komparatif pembiayaan akad salam dinegara-negara lainnya,
seperti di Malaysia, Sudan, Iran, Pakistan dan sebagainya.
REFERENSI
Antonio,
Muhammad Syafi’ie, 2001, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta:
Gema Insani Press
Ascarya,
2007, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
______, 2005,
”Analytic Network Process (ANP): Pendekatan baru studi kualitatif”, makalah
disampaikan pada seminar intern program Magister Akuntansi fakultas Ekonomi di
Universitas Trisakti, Jakarta
______, 2009, ”The
Lack of Profit-and-Loss Sharing Financing in Indonesia Islamic Banks: Revisited
Ascarya dan
Yumanita, 2006, ”The Lack of Profit and Loss Sharing Financing in Indonesian
Islamic Banks: Problems and Alternative Solutions”, paper presented at ”INCEIF
Islamic Banking and Finance Educational Colloquium: Creating Sustainable
Development of Human Capital and Knowledge in Islamic Finance through
Education”, KLCC, Kuala Lumpur, Malaysia
Ascarya, et al.,
2004, ”Dominasi Pembiayaan Non-Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia:
Masalah dan Alternatif Solusi”, PPSK Working Paper Series No: WP/04/02
Ashari dan Saptana,
2005, ”Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian”. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Ali, Mahbubi, 2007
”Optimalisasi Peran Akad Salam salam Pengembangan Produk
Perbankan Syariah”, Makalah pada tugas akhir mata kuliah Fiqh Muamalah, Bogor:
Tidak diterbitkan
Ali, Zainuddin,
2008, Hukum perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika Off-set
Bank Indonesia
Bandung dan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007, Potensi Pembiayaan Syariah
untuk Sektor Pertanian Padi dan Palawija di Jawa Barat, Jawa Barat.
Dahlan, Abdul Azis,
et al., 1997, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 3, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta.
Ebrahim, M. Shahid,
2001, ”Islamic Banking in Brunei Darussalam”. Jurnal Internasional
Firdaus, Muhammad,
et al., 2005, Konsep dan Implementasi Bank Syariah, Jakarta: RENAISAN
Hamzah, Maulana,
2008, ”Pengembangan Perbankan Syariah Secara Obyektif dan Rasional dengan
Pendekatan Mekanisme Pasar”. Jurnal Ekonomi Islam La Riba Vol.II
Haron dan Bala,
1997, Islamic Banking System: Concepts and Applications, Malaysia:
Pelanduk Publications
Isriani dan
Giharto, 2007, Kamus Perbankan Syariah, Jakarta: Penerbit MARJA
Maryana, 2005, Analisis Pembiayaan Murabahah
Produktif di Bank Syariah Mandiri cabang Tanjung Priok (Studi Kasus pada PT.
X), skripsi strata satu Ekonomi Islam pada Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA:
Tidak diterbitkan
Muhammad Ash-shawi,
Muhammad Shalah, 2008, Problematika Investasi pada Bank Islam Solusi Ekonomi
Islam, Jakarta: Penerbit Migunani
Pusat Pengkajian
dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
dan Bank Indonesia, 2008, ”Ekonomi Islam”, PT Rajagrafindo Persada: Jakarta
Saaty, Thomas L,
2005, Theory and Applications of the Analytic Network Process,
Pittsburgh: University of Pittsburgh
Saaty dan Vargas,
2006, Decision Making with the Analytic Network Process, Pittsburgh: University
of Pittsburgh
Tim Pengembangan
Perbankan Syariah INSTITUT BANKIR INDONESIA, 2003, ”Konsep, Produk, dan
Implementasi Operasional Bank Syariah”, Jakarta-Djambatan
Umar,
Mohammad Abdul Halim, 1995, ”Shari’ah, Economic, and
Accounting Framework of Bay’ Al Salam in the Light of Contemporary
Application”. Research Paper.
Zuhaili, Wahbah,
1999, Fiqh Muamalah Perbankan Syariah, Jakarta
[1] Dalam metode ANP,
data yang diperlukan dapat diperoleh melalui dua cara. Pertama, satu
data yang diperoleh merupakan konsensus dari sekelompok responden yang
dikumpulkan secara bersamaan. Kedua, pengumpulan data dilakukan secara
terpisah untuk masing-masing responden. Dalam kasus ini metode ANP membolehkan
menggunakan modus dan atau rata-rata untuk mendapatkan satu hasil urutan
prioritas (Ascarya, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar