Atika Rukminastiti
ABSTRACT
Agribusiness sector has an important role in economic development
in Indonesia. However, Small and Medium Enterprises (SME) in this sector still
has a lot of problem. One of them is that, SME in this sector are still having
difficulties to access business financing provided by Islamic financial
institutions and banking. This paper attempts to analyze the benefit,
opportunity, cost and risk of Islamic financial institutions in promoting SME
agribusiness utilizing ANP method and Benefit Opportunity Cost Risk (BOCR)
approach, including the proposed alternative strategies. Results of this study
show that the highest priority of cost and risk is advertising cost, and
external side show that almost farmers in Indonesia have weaknesses in capital
structure and difficulties to access capital resources. The highest priority of
benefit and opportunity is that Islamic Financial Institutions has a just
profit-loss sharing system i.e., taking into account the possibility of profit
and loss, also from external side show that market share of agribusiness will
grow bigger. Strategic priorities which will make Islamic Financial
Institutions as a strategic alternative to promote SME in the agribusiness
sector are by providing alternative financing schemes based on sub-activities,
form Agricultural Bank, organize incentive schemes, and establish Linkage
Program between BUS-BPRS-LKA-Government
Keywords: Agribusiness, SMEs, Islamic Financial Institutions,
ANP-BOCR
1.
PENDAHULUAN
Usaha mikro merupakan kekuatan strategis dan penting untuk mempercepat
pembangunan daerah. Sektor ini terbukti memberikan kontribusi signifikan
terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dan penyerapan tenaga kerja yang
semakin meningkat. Tingkat penyerapan tenaga kerja untuk usaha mikro lebih
besar dari pada sektor usaha kecil, menengah, dan besar. Hampir 90 persen dari
total penyerapan tenaga kerja dikuasai oleh usaha mikro. Kontribusi sektor
mikro terhadap PDB juga meningkat, yaitu dari 2,579,388.40 Milyar menjadi 2,951,120.60
Milyar.
Tabel 1. Kontribusi UMKM terhadap Jumlah Tenaga Kerja dan PDB
Indonesia
Skala Usaha
|
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
|
PDB - Hrg Konstan 2000 (Rp Milyar)
|
||
2011
|
2012
|
2011
|
2012
|
|
Mikro
|
94,957,797
|
99,859,517
|
2,579,388.40
|
2,951,120.60
|
90.77%
|
90.12%
|
34.73%
|
35.81%
|
|
Kecil
|
3,919,992
|
4,535,970
|
722,012.80
|
798,122.20
|
3.75%
|
4.09%
|
9.72%
|
9.68%
|
|
Menengah
|
2,844,669
|
3,262,023
|
1,002,170.30
|
1,120,325.30
|
2.72%
|
2.94%
|
13.49%
|
13.59%
|
|
Besar
|
2,891,224
|
3,150,645
|
3,123,514.60
|
3,372,296.10
|
2.76%
|
2.84%
|
42.06%
|
40.92%
|
|
Total
|
104,613,682
|
110,808,155
|
7,427,086
|
8,241,864
|
100%
|
100%
|
100%
|
100%
|
Sumber:
Menegkop & UKM, 2013 (www.depkop.go.id)
Usaha mikro dalam memajukan perekonomian nasional juga dapat
dilihat dari jumlah usahanya yang mengalami peningkatan signifikan dan lebih
besar dari jumlah usaha kecil, menengah dan besar. Menurut data dari Menteri Koperasi
dan UKM pada tahun 2011 jumlah unit usaha mikro mencapai 54,559,969 unit dan
meningkat di tahun 2012 sebanyak 56,534,592 unit usaha. Hal ini menunjukkan
bahwa usaha mikro memiliki peran yang lebih besar dalam pembangunan
perekonomian Indonesia dibandingkan skala usaha lainnya.
Jumlah terbesar dari usaha mikro berasal dari sektor pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan sebanyak 26,635,044 unit pada tahun 2011
dan sebanyak 27,063,839 unit pada tahun 2012. Unit usaha mikro terbesar
selanjutnya berasal dari sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, disusul
kemudian sektor Pengangkutan dan Komunikasi, serta sektor Industri Pengolahan
merupakan unit sektor usaha mikro terbesar urutan ke-empat.
Tabel 2. Jumlah Unit Usaha Berdasarkan Sektor Ekonomi
Sektor Usaha
|
2011
|
2012
|
Pertanian, Kehutanan,
& Peternakan
|
26,635,044
|
27,063,839
|
Pertambangan dan
penggalian
|
671,440
|
681,982
|
Industri pengolahan
|
3,588,937
|
3,689,246
|
Listrik, gas dan air
bersih
|
423,222
|
423,304
|
Konstruksi
|
897,996
|
1,022,803
|
Perdagangan, hotel
& restoran
|
14,800,156
|
15,596,228
|
Pengangkutan dan
komunikasi
|
3,598,647
|
3,872,942
|
Keuangan dan jasa
perusahaan
|
1,382,629
|
1,444,075
|
Jasa-jasa
|
2,561,894
|
2,740,173
|
Jumlah
|
54,559,969
|
56,534,592
|
Sumber:
Menegkop & UKM, 2013 (www.depkop.go.id)
Dengan mengkaji data-data di atas, dapat dilihat bahwa sektor
agribisnis memberikan peran yang cukup besar dalam perkembangan jumlah usaha
mikro yang ada di Indonesia. Sektor agribisnis tidak hanya meliputi sektor
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan dalam sisi on-farm (budidaya)
tetapi juga dari sisi off-farm (perindustrian dan perdagangan). Menurut
Saragih (2010) hal ini dikarenakan sistem agribisnis merupakan suatu hubungan
keterkaitan kinerja antara usaha tani dengan usaha-usaha, baik rantai pemasok
input dan output serta fasilitas penunjang, yaitu jasa layanan infrastruktur
dan regulasi penunjang di luar sektor pertanian. Sehingga dapat dikatakan bahwa
sektor ekonomi yang termasuk sektor agribisnis adalah keseluruhan sektor
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan serta sebagian dari sektor
perdagangan dan industri pengolahan.
Agribisnis memiliki beberapa kelebihan. Agribisnis dalam
pengembangannya akan lebih mudah karena relatif tidak tergantung kepada sektor
lainnya. Kemudian dalam perluasan kesempatan kerja karena produk pertanian
lokasinya tersebar, sehingga memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat
secara luas. Serta dalam peningkatan nilai tambah karena adanya kegiatan
pengolahan bahan mentah sehingga mampu memberi nilai tambah ekonomi berupa
upah, bunga, sewa dan keuntungan lainnya.
Sehingga jika ditinjau dari karakteristik tersebut, pengembangan
agribisnis tidak hanya ditujukan untuk pengembangan kegiatan industri itu
sendiri, tetapi sekaligus mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan-kegiatan
dalam sistem agribisnis secara keseluruhan. Hal ini akan memberikan pengaruh
besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti peningkatan
kesempatan kerja, mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan
ekspor dan sebagainya. Strategi pengembangan agribisnis dengan demikian
difokuskan pada kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kegiatan para petani kecil
dan menengah, menyangkut permodalan usaha, modernisasi teknologi, sistem,
organisasi dan manajemen usaha.
Padahal bila dilihat dari kinerja sektor agribisnis itu sendiri, belum
menunjukkan performa yang optimal. Hal ini dirasakan oleh beberapa para petani
plasma, yang menjadi subjek dari rangkaian usaha agribisnis tersebut. Peforma
perusahaan agribisnis yang berkembang belum menunjukkan peningkatan yang
signifikan bagi taraf hidup para petani plasma di pedesaan. Hal ini disebabkan
oleh berbagai permasalahan yang terdapat dalam sistem agribisnis. Menurut
Wulandari (2004: 41) permasalahan internal sektor ini adalah kelemahan dalam
struktur permodalan dan kurangnya akses petani terhadap lembaga keuangan. Lemahnya
akses petani ke lembaga keuangan terutama akibat dari kegagalan dalam memenuhi
persyaratan pendanaan dari perbankan. Selama ini, usaha di sektor agribisnis
khususnya dalam skala usaha mikro, kecil dan menengah kurang mendapat perhatian
dari dunia perbankan karena dunia perbankan menganggap sektor ini kurang
memberikan keuntungan bagi perbankan, disamping adanya kelemahan-kelemahan yang
dimiliki oleh sektor ini. Padahal jika diperhatikan, sektor ini yang terbukti
mampu memberikan kontribusi dan manfaat yang nyata pada perekonomian nasional.
Berkaitan dengan masalah terbatasnya permodalan, kelompok usaha ini
membutuhkan dukungan dari lembaga pembiayaan termasuk perbankan syariah. Dilihat
secara konseptual, perbankan syariah, sebagaimana lembaga keuangan lainnya yang
juga memiliki motif dalam memperoleh keuntungan sekaligus merupakan lembaga keuangan
yang berorientasi kepada kesejahteraan (welfare-oriented) maka perbankan
syariah senantiasa melakukan kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan
kepada masyarakat. Dimana kegiatan penyaluran dana yang dilakukan oleh
perbankan syariah ini merupakan salah satu kegiatan usaha utama yang dilakukan
oleh perbankan pada umumnya.
Dalam praktiknya, jenis-jenis pembiayaan yang ditawarkan oleh bank
syariah diwujudkan dalam pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif.
Pembiayaan produktif adalah pembiayaan yang ditujukan untuk meningkatan usaha,
baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Sedangkan pembiayaan
konsumtif adalah pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Secara
umum, produk-produk pembiayaan bank syariah dan akad yang dapat digunakan dapat
dilihat pada gambar berikut:
![]() |
Gambar 1. Skema
Pembiayaan Bank Syariah
Sumber: Ascarya
(2007)
Dalam teorinya pembiayaan di lembaga keuangan syariah sama maknanya
dengan istilah kredit yang biasa digunakan di lembaga keuangan konvensional.
Yakni sama-sama dimana bank memberikan pinjaman kepada nasabah dengan jangka
waktu tertentu serta ditetapkan keuntungan tambahan dan nasabah peminjam wajib
melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan schedule yang tertera dalam
perjanjian yang dibuat antara nasabah dan bank.
Akan tetapi dalam prakteknya, pembiayaan tidak sama dengan kredit.
Dalam operasional pembiayaannya, bank syariah tidak memberikan pinjaman dalam
bentuk uang tunai secara langsung. Ketika nasabah ingin mengajukan pembiayaan
untuk pembelian mobil misalnya, baik itu akan digunakan untuk konsumsi maupun
sebagai penunjang operasional usahanya, bank akan membayar uang secara tunai
dan langsung kepada dealer yang dimaksud. Lalu nasabah akan membayar secara
kredit kepada pihak bank dengan margin tertentu yang telah ditetapkan oleh
bank. Lain halnya dengan kredit di bank konvensional dimana bank langsung mencairkan
dana langsung dalam bentuk tunai kepada nasabah sesuai dengan jumlah plafond
yang diajukan oleh nasabah. Lalu nasabah sendiri yang akan menggunakan uang itu
sesuai dengan kepentingannya.
Jika memang produk pembiayaan di atas dianggap tepat untuk pembiayaan
kegiatan UKM di sektor agribisnis yang sebagian besar dibutuhkan oleh para
petani plasma, maka hal ini seharusnya menjadi peluang dalam rangka memperluas
pangsa pasar yang harus dimanfaatkan oleh industri perbankan syariah. Negara
Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya bermata
pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian ini pula menyumbang banyak
terhadap PDB, kontribusi terhadap ekspor (devisa), bahan baku industri, serta
dalam hal penyediaan pangan dan gizi. Tidak jarang pula sektor pertanian
terbukti mampu menjadi penyangga perekonomian nasional saat terjadi krisis
ekonomi.
Ashari dan Saptana (2005) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa
untuk lebih menjamin rasa keadilan bagi pelaku bisnis pertanian, perlu dibuka
wacana model pembiayaan alternatif yang sesuai dengan karakteristik usaha di
sektor pertanian. Beberapa hal yang melandasi prospek pembiayaan syariah untuk
sektor pertanian adalah sebagai berikut:
a.
Karakteristik
pembiayaan di bank syariah sesuai dengan kondisi sektor pertanian. Skim
pembiayaan syariah lebih memberikan rasa keadilan karena untung dan rugi dibagi
bersama. Demikian halnya dengan akad Salam, dimana petani hanya
berhutang hasil pertanian setelah dipanen, karena pembayaran sudah diterima
diawal, baik untuk biaya produksi maupun untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
b.
Skim pembiayaan
syariah sudah dipraktekkan secara luas oleh petani Indonesia. Secara budaya,
banyak petani yang sudah mengenal sistem seperti maro (1:2) dan mertelu. Sistem
tersebut sejalan dengan prinsip syariah (bagi hasil). Maka dengan sosialisasi
yang lebih intensif, petani akan lebih mudah memahami konsep pembiayaan
syariah.
c.
Luasnya cakupan
usaha bisnis pertanian. Usaha di sektor agribisnis mencakup beberapa subsistem
yang sangat luas, mulai dari subsistem pengadaan sarana, budidaya, panen, pasca
panen, pengolahan hingga pemasaran hasil. Pada semua subsistem ini memungkinkan
untuk menggunakan pembiayaan model syariah.
d.
Produk
pembiayaan syariah cukup beragam. Luasnya cakupan usaha dan komoditas sektor
pertanian telah diantisipasi dengan produk pembiayaan syariah yang juga cukup
beragam. Hal ini memungkinkan nasabah untuk memilih jenis produk pembiayaan
syariah sesuai dengan kondisi dan karakteristik usaha mereka.
e.
Tingkat
kepatuhan petani. Usaha pertanian saat ini masih banyak digeluti oleh sebagian
petani kecil di pedesaan, dan umumnya mereka sangat menghormati adat istiadat
dan aturan agama dalam kehidupan sehari-hari. Adanya skim pembiayaan yang
sesuai dengan ajaran agama diharapkan secara emosional akan mempermudah petani
dalam menerima sistem pembiayaan syariah.
f.
Komitmen bank
syariah untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Berdasarkan data terakhir yang dipublikasikan oleh BI di akhir
tahun 2012, porsi UMKM yang mendapatkan kucuran pembiayaan BUS dan UUS mencapai
72.3 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa bank syariah terbukti lebih fokus
pada pembiayaan sektor riil (UMKM).
g.
Usaha disektor
pertanian merupakan bisnis riil. Hal ini sesuai dengan prinsip pembiayaan
syariah yang menitikberatkan pada pembiayaan sektor riil dan justru melarang
pembiayaan yang bersifat spekulatif.
Dari wacana di atas, Agribisnis sebagai usaha yang mengolah bahan
mentah dari pertanian termasuk di dalamnya tanaman dan ternak, lebih powerfull
untuk menggunakan produk pembiayaan syariah. Petani plasma dalam membudidayakan
tanaman dan ternak, mulai dari saat awal pertumbuhan hingga menghasilkan produk
siap konsumsi dan siap olah untuk proses lebih lanjut, memiliki karakteristik
yang sangat cocok dengan berbagai produk pembiayaan syariah.
Dalam skema pembiayaan salam misalnya, petani mendapatkan
modal untuk berproduksi sesuai biaya aktual yang dibutuhkan dan mendapatkan
keuntungan dengan porsentase tertentu. Kewajiban petani berdasarkan skema
tersebut adalah menyerahkan produk pertanian dengan kriteria yang telah
disepakati kepada pemberi modal (dalam hal ini adalah bank dan atau
pemerintah). Bank dan pemerintah dapat menunjuk suatu lembaga untuk memasarkan
produk pertanian tersebut. Berbeda dengan sistem konvensional yang menjadi
titik tekannya adalah pengembalian modal (uang) plus bunga. Petani dalam
kasus ini hanya mampu menghasilkan setelah panen inilah yang menjadi titik
terang bahwa pembiayaan dengan akad syariah lebih cocok dan powerfull dengan
kondisi usaha para petani.
Selain itu, Mançka (2012) dalam paper penelitian yang
berjudul Lending Problems of Agriculture and Agro-Industry in Albania
bahwa ditemukan beberapa akar permasalahan mengenai pembiayaan pada sektor
pertanian dan agroindustri sehingga diperlukan tindakan solutif yang harus
diambil. Hasil penelitian menjelaskan permasalah yang dihadapi sektor tersebuta
adalah sektor pertanian menghadapi berbagai resiko tinggi (cuaca, hama,
kandungan gizi dalam produksi), kebanyakan petani tidak memiliki jaminan dalam
pembiayaan karena skala usaha pertanian adalah mikro kecil, ketidaksesuaian kondisi
dan batas waktu pembayaran kredit sesuai dengan siklus bisnis (khususnya untuk
pertanian), bunga yang dikenakan terlalu tinggi serta jauhnya jarak bank dari
daerah pedesaan. Lebih lanjut penelitian tersebut menawarkan solusi yaitu
pembentukan Bank Pertanian Nasional, dimana bank-bank komersial menawarkan
kredit untuk pertanian tetapi suku bunga sangat tinggi, sekitar 24%. Hal ini
merupakan pengganti untuk agunan. Bank Pertanian akan terkonsentrasi di sektor
tunggal, meminimalkan risiko, akibatnya tingkat bunga akan lebih rendah.
Berbeda dengan di atas, Wulandari (2004) dalam penelitiannya
mencoba merumuskan strategi yang dapat dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah
dalam memajukan sektor Agribisnis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor
internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), merumuskan
strategi pengembangan berdasarkan faktor eksternal dan internal, serta
menentukan prioritas strategi pengembangan bagi LKS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pengembangan bagi LKS
adalah strategi tingkat industri, yaitu dengan meningkatkan pemahaman umat
Islam terhadap ajaran-Nya dan memanfaatkan momentum fatwa majelis ulama tentang
bunga bank itu riba. Kemudian strategi tingkat korporasi, yaitu memasukkan
sektor agribisnis dalam portofolio kredit secara signifikan, yaitu dengan
memperbesar porsi pendanaan bagi sektor agribisnis. Menyediakan berbagai alternatif
pola pendanaan yang berdasarkan
subsektor kegiatan (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan
peternakan) dan memberlakukan sistem pendanaan yang memperhatikan jadwal dan
tahapan kegiatan agribisnis. Serta strategi operasional, yaitu memperkuat
struktur kelembagaan.
Dalam tempat berbeda, Mastur (2006) menganalisis penataan
kelembagaan dan permodalan bagi pengembangan industri berbasis pertanian. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa para pelaku industri berbasis pertanian mengalami
beberapa kendala dari sisi permodalan, antara lain kompetensi dalam pembiayaan
sektor pertanian masih sangat terbatas serta sebagian besar perbankan tidak
berani memberikan pembiayaan pada sektor pertanian yang memiliki tingkat resiko
usaha tinggi. Selain itu, sesuai dengan hasil penelitiannya, masalah ketergantungan
pengusaha UKM pertanian kepada industri hilir masih sangat tinggi, sehingga
pelaku usaha sektor pertanian relatif tidak memiliki bargaining power
dalam menentukan harga. Juga masalah luas lahan yang dimiliki petani plasma
relatif terbatas. Sehingga kurang menguntungkan bagi upaya peningkatan taraf
hidup masyarakat petani secara lebih baik. Akibatnya terjadi ketimpangan
perkembangan kesejahteraan antara perusahaan inti dengan petani plasmanya,
dimana perusahaan inti dapat mengalami kemajuan keuangan yang cukup signifikan,
sementara petani plasmanya relatif masih jauh tertinggal.
Disamping penelitian-penelitian di
atas, Nurmanaf (2006) juga meneliti tentang kelebihan-kelebihan perbankan
syariah dibandingkan dengan lembaga pembiayaan lainnya, dalam penelitiannya
yang berjudul Analisis Sistem Pembiayaan Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian
di Pedesaan. Nurmanaf menyatakan bahwa selain memiliki dana yang sangat besar
perbankan juga memiliki kelebihan disbanding lembaga pembiayaan lainnya,
diantaranya: (1) Plafond pinjaman lebih besar dibanding lembaga pembiayaan lain,
(2) Memiliki kekuatan hukum yang jelas, (3) Dapat melayani kebutuhan modal
untuk segala jenis usaha dan lapisan masyarakat asalkan feasible, (4) Pada
perbankan tertentu (BRI) sistem pembiayaan telah disesuaikan dengan
karakteristik usaha pertanian, dan (5) Memiliki sistem reward dan punishment
yang tegas sehingga dapat mendorong masyarakat lebih bertindak professional
dalam berusaha.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan
di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: apa
sajakah permasalahan baik dari sisi internal, yaitu institusi lembaga keuangan
syariah maupun permasalahan dari sisi eksternal, yaitu para pengusaha kecil
menengah sektor agribisnis dalam memajukan usahanya? Bagaimana strategi yang
harus diterapkan dalam kerangka strategis jangka panjang? Dengan menggunakan
metode Analytic Network Process (ANP) pendekatan jaringan Benefit Opportunity
Cost Risk (BOCR), beberapa pertanyaan di atas akan Peneliti coba membahasnya
dan Peneliti cari alternatif strateginya.
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1.
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini
menggunakan data yang bersumber dari wawancara langsung dan studi literatur.
Responden yang diwawancara merupakan gabungan praktisi, akademisi, dan
regulator yang berhubungan dengan permasalahan pembiayaan syariah dalam
mempercepat pengembangan UKM sektor agribisnis. Setelah dilakukan wawancara,
penelitian dilanjutkan dengan penyusunan kerangka ANP. Dilanjutkan dengan
pengisian kuesioner pada pertemuan kedua dengan para responden.
2.2.
Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian analisis kualitatif-kuantitatif
dimana bertujuan untuk menangkap suatu nilai atau pandangan yang diwakili para
pakar dan praktisi syariah tentang LKMS di Indonesia. Alat analisis yang
digunakan adalah metode ANP pendekatan jaringan Benefit Opportunity
Cost Risk (BOCR) dan diolah dengan menggunakan software “Super Decision”
serta Microsoft Excel.
2.2.1. Gambaran
Umum ANP
Saaty dan Vargas (2006)
mengemukakan bahwa Analytic Network Process atau ANP adalah teori umum
pengukuran relatif yang digunakan untuk menurunkan rasio prioritas komposit
dari skala rasio individu yang mencerminkan pengukuran reltif dari pengaruh
elemen-elemen yang saling berinteraksi berkenaan dengan kriteria kontrol. Ascarya (2006) juga menjelaskan bahwa ANP merupakan pendekatan baru dalam proses
pengambilan keputusan yang memberikan kerangka kerja dalam memperlakukan
keputusan-keputusan tanpa membuat asumsi-asumsi. Metode ini dikembangkan
pertama kali oleh Thomas L Saaty, yang merupakan perkembangan lanjutan dari
metode terdahulu yakni Analytic Hierarchy Process (AHP).
2.2.2. Landasan AHP/ANP
ANP mempunyai tiga aksioma sederhana yang secara hati-hati membatasi
cakupan suatu masalah (Ascarya 2005). Aksioma ini menjadi landasan teori,
antara lain:
a. Resiprokal, menyatakan bahwa jika PC (EA, EB) adalah nilai
pembandingan pasangan dari elemen A dan B, dilihat dari elemen induknya C, yang
menunjukkan berapa kali lebih banyak elemen A memiliki apa yang dimiliki elemen
B, maka PC (EB, EA) = 1/ PC (EA, EB). Misalkan, jika A lima kali lebih besar
dari B, maka B besarnya 1/5 dari besar A.
b. Homogenitas, menyatakan bahwa elemen-elemen yang
dibandingkan sebaiknya tidak memiliki perbedaan terlalu besar, yang dapat
menyebabkan kesalahan judgements yang lebih besar. Skala yang digunakan
dalam AHP dan ANP adalah skala verbal yang dikonversi menjadi skala numerik 1
sampai 9.
c. Prioritas, yaitu pembobotan secara absolut dengan meggunakan
skala interval dan sebagai ukuran dominasi relatif. Responden akan memilih
berdasarkan skala penilaian numerik, yaitu pada kisaran angka 1 hingga 9,
dimana:
Tabel 3. Skala Penilaian Numerik Dalam ANP
Definition
|
Intencity of Importance
|
Explanation
|
Amat Sangat Lebih Besar Pengaruhnya
(ExtremeImportance)
|
9
|
The evidence favoring one activity over another is of the highest
possible order of affirmation
|
For compromises between the
above values
|
8
|
|
Sangat Lebih Besar Pengaruhnya
(Very Strong & Demonstrated Importance)
|
7
|
An activity is favored very strongly over another, its dominance
demonstrated in practice
|
For compromises between the
above values
|
6
|
|
Lebih Besar Pengaruhnya
(Strong Importance)
|
5
|
Experience and judgment strongly favor one activity over another
|
For compromises between the
above values
|
4
|
|
Sedikit Lebih Besar Pengaruhnya
(ModerateImportance)
|
3
|
Experience and judgment slightly favor one activity over another
|
For compromises between the
above values
|
2
|
Two activities contribute equally to the objective
|
Sama Besar Pengaruhnya
(Equal Importance)
|
1
|
Sumber: Ascarya
(2007)
d. Dependence condition, menyatakan bahwa
sususnan dapat dikomposisikan ke dalam komponen-komponen yang membentuk bagian
berupa cluster.
2.3. Tahapan Penelitian
Berikut adalah tahapan
pada penelitian dengan metode BOCR, antara lain :

3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1. Dekomposisi
3.1.1. Identifikasi Masalah
Permasalahan dalam hal pengembangan lembaga
keuangan syariah sebagai alternatif strategis dalam memajukan usaha kecil
menengah sektor agribisnis di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 aspek, yaitu
terdiri dari aspek internal, yaitu lembaga keuangan syariah itu sendiri dan
eksternal, yaitu para UKM di sektor agribisnis. Cluster-cluster secara
keseluruhan dikelompokkan menjadi cluster aspek dan strategi.
Permasalahn pada model ini menggunakan pendekatan jaringan Benefit Opportunity Cost Risk (BOCR) sebagai
analisa strategisnya.
Berdasarkan kondisi yang sesuai di lapangan yang berasal dari
indept interview dengan beberapa praktisi di sektor masing-masing serta kajian
pustaka, penguraian masalah pengembangan lembaga keuangan syariah sebagai alternatif strategis dalam memajukan usaha
kecil menengah sektor agribisnis di Indonesia, dikelompokkan menjadi sebagai
berikut:
Tabel 5. Definisi Cluster dan Element
di dalam Cluster Alternative
ALTERNATIVE
Strategi-strategi
yang dapat dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah sebagai alternatif strategis dalam memajukan
usaha kecil menengah sektor agribisnis di Indonesia. Strategi tersebut
diantaranya ialah: Membentuk Bank Pertanian, Program kerjasama dengan BPRS,
BMT, dan Lembaga Keuangan Agribisnis (LKA), Mencari alternatif skim pembiayaan,
dan Mengadakan insentif skim bagi nasabah.
|
Bank
Pertanian (Wulandari & Suroso, 2004,
p.42, Ashari, 2009, p.25, Mançka 2012, p.64, Adam, 2012, p.103, Syukur, 2009)
Tujuan dari
pembentukan bank pertanian
di beberapa negara
adalah untuk pengembangan sektor
pertanian,
mengkoordinasikan dan mengawasi
pemberian pembiayaann untuk kegiatan
pertanian, dan menyediakan
pinjaman dan fasilitas
pembiayaan termasuk kegiatan pertanian
|
Linkage
Program (Mançka 2012, p.64, Pasaribu,
2007, p. 24, Krisnamurthi, 2003, p.15-16)
Melalui
pengembangan kerjasama dengan lembaga keuangan mikro lain yang dapat lebih
berperan bersama, Lembaga Keuangan Agribisnis (LKA), Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS), dan lain-lain. Serta bekerjasama dengan pemerintah, baik
melalui program bantuan social maupun subsidi factor produksi yang selama ini
telah menjadi kebijakan pemerintahan. Seperti Gapoktan, Bantuan Langsung
Pupuk (BLP), Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Kredit Ketahanan
Pangan dan Energi (KKPE), dan lain-lain.
|
Skim
Pembiayaan (Wulandari & Suroso, 2004,
p.42, Ashari, 2009, p.25, Arifin 2009, Ashari dan Saptana, 2005. p. 143)
Menyediakan
berbagai alternatif pola pendanaan yang berdasarkan subsektor kegiatan
(tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan) dan memberlakukan
sistem pendanaan yang memperhatikan jadwal dan tahapan kegiatan agribisnis
(Lihat Tabel di Bab IV) sehingga berbagai kendala yang dihadapi pada setiap rangkaian
usaha dapat teratasi
|
Insentif Skim
(Ashari dan Saptana, 2005. p. 146, Ishak, 2011, p.9)
Pelaksanaan
mekanisme insentif dan sanksi untuk menciptakan keadilan dalam pengelolaan pembiayaan.
Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya kredit bermasalah
|
Tabel 6. Definisi Cluster dan Element
di dalam Cluster Benefit Opportunity
Cost Risk
BENEFIT
Segala aspek
yang dapat memberikan manfaat atau keunggulan bagi masyarakat pelaku usaha
sektor agribisnis pada umumnya dan para pemangku kebijakan seperti
pemerintahan serta manajemen lembaga keuangan syariah pada khususnya.
|
Sistem Bagi
Hasil (Wulandari & Suroso, 2004,
p.42)
Menetapkan sistem
bagi resiko & bagi hasil secara adil
|
Fatwa MUI (Wulandari & Suroso, 2004, p.42)
Memanfaatkan
momentum fatwa majelis ulama tentang bunga bank itu riba
|
Dewan Syariah
(Wulandari & Suroso, 2004, p.42)
Seluruh
kegiatan berada di bawah pengawasan Dewan Syariah
|
Sesuai
Karakteristik (Nurmanaf,
2006 p.18, Ashari dan Saptana, 2005. p. 143)
Karakteristik
pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian. Pada perbankan
tertentu (BRI) sistem pembiayaan telah disesuaikan dengan karakteristik usaha
pertanian
|
Luas Cakupan
Usaha (Ashari dan Saptana, 2005. p. 143)
Luasnya
cakupan usaha bisnis pertanian
|
Tingkat
Kepatuhan (Ashari dan Saptana, 2005. p. 143)
Masyarakat
Petani di Indonesia memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi, khususnya di
daerah pedesaan
|
OPPORTUNITY
Segala aspek
yang dimaksudkan sebagai peluang yang menguntungkan di masa yang akan datang
sabagai akibat adanya pengembangan Lembaga Keuangan Syariah sebagai alternatif strategis dalam memajukan
usaha kecil menengah sektor agribisnis di Indonesia
|
Orientasi
Kesejahteraan (Wulandari
& Suroso, 2004. p.42)
Bank Syariah
tidak menerapkan sistem bunga sehingga berorientasi pada kesejahteraan
masyarakat
|
Jumlah
Pembiayaan (Mançka , 2012. p.64, Wulandari
& Suroso, 2004. p.42)
Skala usaha
pertanian adalah mikro-kecil. Jika bank-bank masuk ke sektor pertanian,
mereka akan memiliki sejumlah pembiayaan yang cukup besar. Sehingga
memasukkan sektor agribisnis dalam portofolio kredit secara signifikan, yaitu
dengan memperbesar porsi pendanaan sektor agribisnis
|
Jaringan
Perbankan Syariah (Ashari dan
Saptana, 2005. p. 144)
Akan
meningkatkan jaringan lembaga pembiayaan syariah, terutama pedesaan
|
Potensi
Ekspor Usaha (Suroso,
2004, p.34)
Peningkatan
produksi agribinis untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan memungkinkan
dengan kapasitas produksi yang besar dapat membuka jaringan pasar ekspor
Internasional
|
Pangsa Pasar
Agribisnis (Hilman, 2003
p.134, Data Ekspor Agribisnis Indonesia,
2010)
Sektor
pertanian Indonesia, dalam arti luas (termasuk perikanan dan kehutanan),
berpeluang untuk lebih berkembang
|
Infrastruktur
Pertanian (Pasaribu et al, 2007, Mançka ,
2012. P6.7)
Meningkatkan
anggaran untuk memperbaiki infrastruktur. Dengan cara ini, produksi pertanian
akan tiba tepat waktu dan tidak rusak di pasar penjualan
|
COST
Segala aspek
yang dapat mengakibatkan beban atau kerugian bagi masyarakat pelaku usaha
sektor agribisnis pada umumnya dan para pemangku kebijakan seperti
pemerintahan serta manajemen lembaga keuangan syariah pada khususnya.
|
Biaya Promosi
(Ashari dan Saptana, 2005.
p. 146, Hilman, 2003, p.56)
Memantapkan
upaya sosialisasi pembiayaan syariah ke masyarakat petani dan pejabat public
yang menangani sektor pertanian sehingga dibutuhkan biaya dlm mempromosikani
pembiayaan syariah dalam skala besar
|
Biaya
Teknologi (Wulandari, Suroso, 2004. P.41,
Mastur, 2006, p.38)
Keterbatasan
dalam pengadaan teknologi di Perbankan Syariah menjadikan salah satu beban
biaya untuk meningkatkan pemanfaatan teknologi dan di sisi lain, biaya administrasi
bank akan lebih besar
|
Kurang
Dukungan (Ashari dan Saptana, 2005. p. 146,
Arifin, 2007)
Kurangnya
dukungan peraturan hukum baik di tingkat daerah sebagai unit otonom maupun di
tingkat pusat
|
Biaya Agunan (Ashari, 2009, p.25, Nurmanaf, 2006 p.18, Mançka , 2012. p.67,
Mastur, 2006, p.38)
Penyediaan
agunan adalah persyaratan yang paling sulit, dengan menetapkan barang yang
telah memiliki kekuatan hukum formal (sertifikat) dirasa masih sangat
memberatkan, sehingga sangat berpengaruh terhadap nilai pinjaman yang
diberikan
|
Akses Petani (Wulandari, Suroso, 2004 p.41, Mançka , 2012. p.41, Nurmanaf, 2006
p.18)
Akses petani
terhadap lembaga keuangan sangat terbatas. Selain itu Persyaratan pengajuan
kredit masih sangat rigid, sehingga tidak semua masyarakat dapat mengakses
pinjaman yang disalurkan
|
Kepemilikan
Faktor Produksi (Mastur,
2006, p.38, Wulandari, Suroso, 2004. P.41, Ashari, 2009, p.25)
Rendahnya
kepemilikan faktor produksi, luas lahan yang dimiliki petani plasma relatif
terbatas, sehingga kurang menguntungkan bagi upaya peningkatan taraf hidup
masyarakat petani secara lebih baik
|
RISK
Segala aspek
yang dimaksudkan sebagai risiko yang merugikan di masa yang akan datang
sabagai akibat adanya pengembangan Lembaga Keuangan Syariah sebagai alternatif strategis dalam memajukan
usaha kecil menengah sektor agribisnis di Indonesia
|
Risiko Kredit
Macet (Ashari, 2009, p.13, p.25, Mançka
, 2012. p.64, Mastur, 2006, p.38)
Perbankan
memandang sektor pertanian sangat risky sehingga sangat berhati-hati dalam
pemberian kredit, karena adanya risiko kredit macet
|
Modal Jangka
Panjang (Arifin, 2007)
Pengembangan forward
financing akan menambah biaya jangka panjang
|
Persaingan (Mastur, 2006, p.38)
Masalah
persaingan baik persaingan antar lembaga
keuangan lainnya. Akan
tetapi pada praktiknya,
persaingan yang paling
ketat adalah antara
LKMS dengan perbankan
syariah yang juga
menyediakan layanan mikro
|
Risiko Gagal
Panen (Mançka , 2012. p.64, Mastur,
2006, p.38)
Sektor
pertanian menghadapi berbagai resiko tinggi (cuaca, hama, kandungan gizi
dalam produksi, resiko harga yang tinggi) sehingga Bank tidak berani
memberikan pembiayaan pada sektor pertanian yang memiliki tingkat resiko
usaha tinggi
|
Pemahaman
Masyarakat (Ashari dan Saptana, 2005, p.144)
pemahaman
SDM, baik di tingkat penguasa pertanian, pelaku pembiayaan syariah, maupun
policy maker terhadap pembiayaan syariah
|
Daya Saing
Produk Agro (Mastur,
2006, p.38)
Rendahnya sistem
pengelohan dan pemasaran hasil pertanian, tingginya cost structure, prasarana
dan sarana yang minim, serta teknologi yang masih relatif tertinggal
dibanding sektor industri menyebabkan rendahnya daya saing produk
|
3.1.2. Jaringan ANP
Berdasarkan identifikasi masalah dan strategi di atas, selanjutnya
terbentuklah jaringan struktur ANP berdasarkan kriteria BOCR atas permasalahan pengembangan Lembaga Keuangan Syariah sebagai alternatif strategis dalam memajukan usaha kecil
menengah sektor agribisnis di Indonesia sebagai berikut ini:
Tabel 7. Jaringan
BOCR

3.1.3. Analisa Benefit, Opportunities, Cost, Risk (BOCR)
Menurut Saaty dan Vargas (2006) pada
penelitian dengan jaringan BOCR hubungan antara benefit, opportunity, cost dan
risk dipengaruhi oleh faktor-faktor umum. Analisa Benefit,
Opportunities, Cost, Risk (BOCR) merupakan analisa penentuan prioritas
berdasarkan hasil perhitungan kriteria yang diinginkan sebagai keuntungan (benefit)
dan kriteria yang tidak diinginkan sebagai beban (cost). Disamping itu
pula terdapat kriteria berdasarkan peristiwa-peristiwa di masa yang akan
datang, yang mungkin dapat terjadi sebagai hal yang positif (opportunity)
dan hal-hal yang dapat mengakibatkan risiko negatif (risk).
Menurut Saaty (2001) untuk melakukan analisa
tersebut maka perhitungan dilakukan dengan menggunakan metode pairwise
comparison. Keputusan yang dihasilkan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
sistem penilaian, merits dari keputusan BOCR sebagai pertimbangan membuat
keputusan, dan jaringan keterkaitan, fakta (objektive) yang membuat
sebuah alternatif keputusan lebih diinginkan dibanding yang lainnya.
a)
Elemen
BOCR
Pada analisia ini menjelaskan mengenai hasil secara
keseluruhan. Bagaimana kecenderungan
responden terhadap permasalahan dalam pengembangan Lembaga
Keuangan Syariah sebagai alternatif strategis dalam memajukan usaha kecil menengah sektor
agribisnis di Indonesia berdasar pada nilai geometric mean.

Gambar 2. Prioritas Cluster Benefit dan Opportunity
Sumber: data kuesioner (diolah)
Berdasarkan hasil prioritas di atas, apabila memperhatikan segi kekuatan dan peluangnya maka bobot terbesar
adalah bahwa LKS menetapkan sistem bagi risiko dan bagi hasil secara adil
(0.1604), yaitu dengan memperhitungkan kemungkinan untung dan rugi. Serta dari
sisi eksternalnya bahwa ke depannya pangsa pasar usaha agribisnis akan semakin
meluas (0.1805), yaitu meningkatnya pangsa pasar produksi agribinis adalah untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggi.

Gambar 3. Prioritas Cluster Cost dan Risk
Sumber: data kuesioner (diolah)
Berdasarkan hasil prioritas di atas, apabila memperhatikan segi beban dan risiko maka bobot terbesar adalah
biaya promosi LKS (0.1637) yang kurang optimal kepada masyarakat luas dan
tentunya membutuhkan dana besar dalam memperluas jangkauan promosi serta dari
sisi eksternal, rata-rata petani di Indonesia memiliki kelemahan dalam struktur
permodalan (0.1539) sehingga menyebabkan para pelaku usaha mengalami keterbatasan
akses terhadap sumber-sumber permodalan.
b)
Alternatif BOCR
Saaty dan Vargas (2006) menjabarkan hasil dari
beberapa alternatif yang diprioritaskan, hasil pertama didapatkan dari nilai Realistic
(BxO)/(CxR). Selain rumus tersebut, pengambilan keputusan juga didapat dari jenis
penghitungan lainnya yang dikemukakan oleh Emanuel dan Cefalu (2006) pada hasil
penelitiannya yaitu penghitungan yang biasanya digunakan untuk menentukan
prioritas jangka panjang, atau additive negative
formula. Dengan rumus bB + oO + c(1-C) + r(1-R). Dalam penelitian kali
ini, Peneliti akan menggunakan rumus tersebut dalam menentukan prioritas jangka
panjang, sehingga hasil yang di dapat adalah sebagai berikut ini:
Tabel 8. Bobot Alternatif terhadap BOCR
Alternatives BOCR
|
B
|
O
|
C
|
R
|
bB+oO+c(1-C)+r(1-R)
|
|
0.277181
|
0.095435
|
0.467296
|
0.160088
|
Total
|
Normalized
|
|
1. Bank Pertanian
|
0.780563
|
1.000000
|
0.574626
|
0.412249
|
0.6047
|
0.2871
|
2. Linkage Program
|
0.643650
|
0.502639
|
1.000000
|
1.000000
|
0.2264
|
0.1075
|
3. Skim Pembiayaan
|
1.000000
|
0.603488
|
0.266779
|
0.696861
|
0.7259
|
0.3447
|
4. Insentif Skim
|
0.592413
|
0.356508
|
0.521590
|
0.205999
|
0.5489
|
0.2607
|
Sumber: data
kuesioner (diolah)

Gambar 4. Prioritas
Alternatif dari Model BOCR
Sumber: data
kuesioner (diolah)
Hasil dari analisis BOCR seperti yang ditampilkan di
atas menunjukkan bahwa keputusan yang berfokus pada prioritas jangka panjang
ialah pada penentuan skim pembiayaan
(0.3447). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian, Ashari (2009: 25),
Arifin (2009), Ashari dan Saptana (2005: 143) dan Wulandari (2004: 42). Bahwa
Lembaga Keuangan Syariah perlu untuk menyediakan berbagai alternatif pola
pendanaan yang berdasarkan subsektor kegiatan (tanaman pangan, perkebunan,
kehutanan, perikanan, dan peternakan) dan memberlakukan sistem pendanaan yang
memperhatikan jadwal dan tahapan kegiatan agribisnis itu sendiri sehingga
berbagai kendala yang dihadapi pada setiap rangkaian usaha dapat teratasi.
Adapun alternatif pola pembiayaan sebagai pemecahan masalah
dalam sistem agribisnis adalah sebagai berikut:
Tabel 9. Alternatif Pola Pembiayaan sebagai
Pemecahan Masalah dalam sistem Agribisnis
Kegiatan
Agribisnis
|
Kendala
|
Jenis
Pendanaan
|
Pembukaan
Lahan
|
Biaya Besar
|
Murabahah
|
Pengadaan
Input
|
Modal di
awal
|
Ba’i Muajjal
|
Pengadaan
Alat dan Mesin
|
Biaya Besar
& Modal di awal
|
Ijarah
|
Budidaya
|
Risiko Besar
|
Istisna
|
Panen
|
Kepastian
Jumlah dan Mutu
|
Ba’i Salam
|
Pengadaan
alat pengolahan
|
Biaya Besar
|
Ijarah
|
Pengolahan
|
Biaya Besar
|
Mudharabah
|
Pemasaran
|
Kepastian
Harga
|
Ba’i Salam
|
Transfer
Teknologi
|
Biaya Besar
|
Musyarakah
|
Pengembangan
SDM
|
Biaya Besar
|
Musyarakah
|
Pemenuhan
biaya hidup
|
Kontinuitas
|
Qard Hasan
|
Perlindungan
aset
|
Risiko Besar
|
Takaful
|
Sumber:
Wulandari dan Suroso (2004: 43)
4.
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi
pengembangan Lembaga Keuangan Syariah sebagai alternatif strategis dalam memajukan usaha kecil
menengah sektor agribisnis di Indonesia adalah (1) Menyediakan berbagai alternatif skim pembiayaan yang berdasarkan subsektor kegiatan (tanaman
pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan) dan memberlakukan sistem
pendanaan yang memperhatikan jadwal dan tahapan kegiatan agribisnis, (2)
Membentuk Bank Pertanian, yang bertujuan untuk pengembangan sektor
pertanian, mengkoordinasikan dan
mengawasi pemberian pembiayaann untuk kegiatan
pertanian, dan menyediakan
pinjaman dan fasilitas
pembiayaan termasuk kegiatan pertanian, (3) Pengadaan insentif skim,
dimaan dala pelaksanaan kegiaan pendanaan Lembaga Keuangan Syariah menggunakan mekanisme
insentif dan sanksi untuk menciptakan keadilan dalam pengelolaan pembiayaan
serta untuk mencegah atau mengurangi terjadinya kredit bermasalah, (4)
Mengadakan Linkage Program. Baik melalui pengembangan kerjasama dengan
lembaga keuangan mikro lain yang dapat lebih berperan bersama, Lembaga Keuangan
Agribisnis (LKA), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan lain-lain, maupun
bekerjasama dengan pemerintah, baik melalui program bantuan social maupun
subsidi factor produksi yang selama ini telah menjadi kebijakan pemerintahan.
Seperti Gapoktan, Bantuan Langsung Pupuk (BLP), Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), dan lain-lain.
4.2. Rekomendasi
Sementara itu, beberapa saran dan rekomendasi yang
dapat diberukan penulis antara lain:
1.
Diperlukan
kebijakan yang tegas untuk mendukung alternatif strategis LKS dalam hasil
penelitian ini, khususnya strategi dalam memberlakukan sistem pendanaan yang
memperhatikan jadwal dan tahapan kegiatan agribisnis serta skim pembiayaan yang
berdasarkan subsektor kegiatan.
2.
Diharapkan
adanya komitmen bersama dari pejabat Lembaga Keuangan Syariah dalam menunjang
dan mendorong upaya memajukan
sektor agribisnis di Indonesia khususnya dalam hal ini pelaku usaha kecil
menengah.
3.
Kemungkinan
adanya kesalahan manusia (human error) di sektor pembiayaan yang
disalurkan belum sepenuhnya masuk ke permasalah yang dibahas pada penelitian
ini. Dan masih banyak faktor lain yang menyebabkan belum efisiensnya
pengembangan Lembaga Keuangan Syariah sebagai alternatif strategis dalam memajukan usaha kecil
menengah sektor agribisnis. Sehingga pada
penelitian selanjutnya dengan pendekatan yang sama, yaitu ANP disarankan agar
dapat menambah jumlah elemen yang terkandung di setiap cluster
permasalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, M. Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek Jakarta:
Gema Insani Press.
Arifin, Bustanul. 2005. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan
Dan Strategi Revitalisasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Ascarya. 2007 Analitic Network Process (ANP): Pendekatan Baru dalam
Penelitian Kualitatif, Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia
Ashari. 2009. Roles of National Banking in Agricultural Finance in
Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 27 No.1. 13-27
Ashari dan Saptana, 2005. Prospek Pembiayaan Syariah Untuk Sektor
Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23 No.2. 132-147
Bank Indonesia. 2013. Laporan Statistik Perbankan Syariah Januari
2013. Jakarta: Bank Indonesia
Hilman, Ir. Imam. dkk. 2003. Perbankan Syariah Masa Depan. Jakarta:
Senayan Abadi Publishing Nurmanaf, AR. dkk. 2006. Analisis Sistem Pembiayaan
Mikro dalam Mendukung Usaha Pertanian di Pedesaan. Seminar Hasil Penelitian:
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Mançka, Dr. Anila. 2012. Lending Problems of Agriculture and
Agro-Industry in Albania. Ontario International Development Agency. OIDA ISSN
1923-6654. International Journal Of Sustainable Development 03:04
Mastur, Akhmad Amien. 2006. Penataan Kelembagaan dan Permodalan
bagi Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian.
36-41
Nuraini,
Nina. 2007. Daya Saing Agribisnis. Bandung: Penerbit Nuansa.
Pasaribu, Sahat. dkk. 2007. Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor
Pertanian. Seminar Hasil Penelitian: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.
Saaty, Thomas L. 2001. Theory and Applications of the Analytic
Network Process, Pittsburgh: University of Pittsburg
Saaty, Thomas L and Vargas, Luis G. 2006. Decision Making with the
Analitic Network Process: Benefits, Opportunities, Costs and Risk. Pittsburgh:
Springer.
Saragih,
Bungaran. 2001. Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Bogor:
LPJI Graha Griya Srana.
Wulandari, S dan Suroso, AI. 2004. Lembaga Keuangan Syariah
Alternatif Strategis Memajukan Sektor Agribisnis. Agrimedia Volume 9, No.1,
40-53.
www.depkop.go.id
www.bi.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar